TUMOR MEDULA SPINALIS

16.42 Edit This 0 Comments »

A.    PENDAHULUAN
Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan jaringan konektif, dura mater. Tumor medula spinalis merupakan suatu kelainan yang tidak lazim, dan hanya sedikit ditemukan dalam populasi. Namun, jika lesi tumor tumbuh dan menekan medula spinalis, tumor ini dapat menyebabkan disfungsi anggota gerak, kelumpuhan dan hilangnya sensasi.
Gambar 1. Diagram otak, tulang belakang dan medulla spinalis. Pembesaran gambar menunjukkan struktur dari medulla spinalis



B.     KLASIFIKASI
Tumor pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer dan tumor metastasis. Kelompok yang dominan dari tumor medula spinalis adalah metastasis dari proses keganasan di tempat lain. Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi tiga kelompok, berdasarkan letak anatomi dari massa tumor. Pertama, kelompok ini dibagi dari hubungannya dengan selaput menings spinal, diklasifikasikan menjadi tumor intradural dan tumor ekstradural. Selanjutnya, tumor intradural sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumor yang tumbuh pada substansi dari medula spinalis itu sendiri–intramedullary tumours- serta tumor yang tumbuh pada ruang subarachnoid (extramedullary). 

Ekstra dural
Intradural ekstramedular
Intardural intramedular
Chondroblastoma
Chondroma
Hemangioma
Lipoma
Lymphoma
Meningioma
Metastasis
Neuroblastoma
Neurofibroma
Osteoblastoma
Osteochondroma
Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral hemangioma
Ependymoma, tipe myxopapillary
Epidermoid
Lipoma
Meningioma
Neurofibroma
Paraganglioma
Schwanoma
Astrocytoma
Ependymoma
Ganglioglioma
Hemangioblastoma
Hemangioma
Lipoma
Medulloblastoma
Neuroblastoma
Neurofibroma
Oligodendroglioma
Teratoma
Table 1 distribusi anatomi dari tumor medulla spinalis berdasarkan gambaran histologisnya[*]


Gambar 2, letak tumor medulla spinalis, ed = ekstradural; ie = intradural ekstramedular; ii = intradural intramedular*


C.     ETIOLOGI
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan muncul dari pertumbuhan sel normal pada tempat tersebut. Riwayat genetik terlihat sangat berperan dalam peningkatan insiden pada keluarga tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis). Astrositoma dan neuroependymoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2, yang merupakan kelainan pada kromosom 22. Spinal hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan von hippel-lindou syndrome sebelumnya,yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.



D.    EPIDEMOLOGI
Insiden dari semua tumor primer medula spinalis sekitar 10% sampai 19% dari semua tumor primer susunan saraf pusat. (SSP), dan seperti semua tumor pada aksis saraf, insidennya meningkat seiring dengan umur. Prevalensi pada jenis kelamin tertentu hampir semuanya sama, kecuali pada meningioma yang pada umumnya terdapat pada wanita, serta ependymoma yang lebih sering pada laki-laki. Sekitar 70% dari tumor intradural merupakan ekstramedular dan 30% merupakan intramedular.
Table 2. distribusi insiden tumor primer medulla spinalis berdasarkan histology
Histologi
Insiden
Tumor sel glia
Ependymoma
Astrositoma
Schwanoma
Meningioma
Lesi vascular
Chondroma/chondrosarkoma
Jenis tumor yang lain
23 %
13%-15%
7%-11%
22%-30%
25%-46%
6%
4%
3%-4%

Tabel 3, distribusi tumor intradural ekstramedular berdasarkan umur, jenis kelamin dan lokasi tersering.
Jenis tumor
Total insiden
Umur
Jenis kelamin
Lokasi anatomis
Schwanoma
Meningioma
Ependymoma
53,7 %
31,3%
14,9%
40-60 tahun
40-60 tahun
<> 
> Laki-laki
>perempuan
Laki-laki=perempuan
>lumbal
>thorakal
>lumbal

Tabel 4, insiden tumor primer medulla spinalis berdasarkan lokasi
Lokasi
Insiden
Thorakal
Lumbal
Servikal + Foramen magnum
50%-55%
25%-30%
15%-25%

Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma, astrositoma dan hemangioblastoma. Ependymoma merupakan tumor intramedular yang paling sering pada orang dewasa. Tumor ini lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia pertengahan(30-39 tahun) dan lebih jarang terjadi pada usia anak-anak. insidensi ependidoma kira-kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari ependydoma muncul pada daerah lumbosakral.
Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh pada medula spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang tersering pada tiga dekade pertama. Astrositoma juga merupakan tumor spinal intramedular yang tersering pada usia anak-anak, tercatat sekitar 90% dari tumor intramedular pada anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan sekitar 60% pada remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi di segmen servikal dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmen torakal, lumbosakral atau pada conus medialis.
Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yang tumbuh lambat dengan prevalensi 3% sampai 13% dari semua tumor intramedular medula spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36 tahun, namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau syndrome (VHLS) biasanya muncul pada dekade awal dan mempunyai tumor yang multipel. Rasio laki-laki dengan perempuan 1,8 : 1.
Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan meningioma. Berdasarkan table 3, schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi laki-laki lebih sering dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada daerah lumbal.
Meningioma merupakan tumor kedua tersering pada kelompok intradural-ekstramedullar tumor. Meningioma menempati kira-kira 25% dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari spinal meningioma terlokasi pada segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada daerah lumbal, dan 2% pada foramen magnum.


E.           GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinik dari tumor pada aksis spinal tergantung dari fungsi pada daerah anatomis yang terkena. Tumor medulla spinalis dapat menyebabkan gejala lokal dan distal dari segmen spinal yang terkena ( melalui keterlibatan traktus sensorik dan motorik pada medula spinalis.) akibat organisasi anatomik dalam medula spinalis, maka kompresi lesi-lesi diluar medula spinalis biasanya menimbulkan gejala dibawah tingkat lesi. Tingkat gangguan sensorik naik secara berangsur-angsur bersama dengan meningkatnya kompresi, dan melibatkan daerah yang lebih dalam. Lesi yang terletak jauh didalam medula apinalis mungkin tidak menyerang serabut-serabut yang terletak sperfisial, dan hanya menimbulkan disosiaasi sensorik, yaitu sensasi nyeri dan suhuyang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh. Kompresi medula spinalis akan mengakibatkan ataksia karena mengganggu sensasi posisi.
Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan oleh lokasi serta posisi pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis.
a.      Gejala klinik berdasarkan lokasi tumor
1.      Tumor foramen magnum
Gejala awal dan tersering adalah nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesi dermatom daerah vertebra servikalis 2 (C2). Setiap aktivitas yang meningkatkan tekanan intrakranial (misal, batuk, mengedan, mengangkat barang atau bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang melaporkan kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor menyebabkan kuadraplegia spastik dan hilangnya sensasi secara bermakna. Gejala lainnya adalah pusing, disatria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot sternokleidomastiodeus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya berjalan spastic, palsy N.IX sampai XI, dan kelemahan ekstremitas.
2.      Tumor daerah servikal
Lesi daerah servikal menimbulkan gejala sensorik dan motorik mirip lesi radikular yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga melibatkan tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas diduga disebabkn oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior melaui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan artrofi gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah ( C5, C6, C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas (biseps,brakhioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi C7; dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah.
3.      Tumor daerah thorakal
Penderita lesi daerah thorakal seringkali datang dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parastesia. Pasien dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat intrathorakal dan intraabdominal. Pada lesi thorakal bagian bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda beevor dapat menghilang.
4.      Tumor daerah lumbosakral
Kompresi segmen lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda babynski bilateral. Nyeri umunya dialihkan ke selangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah.
5.      Tumor kauda ekuina
Lesi dapat menyebabkan nyeri radikular yang dalam., kelemahan dan atrofi dari otot-otot termasuk gluteus, otot perut, gastrocnemius, dan otot anterior tibialis. Refleks APR mungkin menghilang, muncul gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tanda-tanda khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum dan perineum yang kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris.10 Refleks lain dapat terpengaruh tergantung letak lesi.
b.  Perjalanan klinis tumor berdasarkan letak tumor dalam kanalis spinalis .
1.      Lesi Ekstradural
Perjalanan klinis yang lazim dari tumor ektradural adalah kompresi cepat akibat invasi tumor pada medula spinalis, kolaps kolumna vertebralis, atau perdarahan dari dalam metastasis. Begitu timbul gejala kompresi medula spinlis, maka dengan cepat fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali. Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan posisi sendi dibawah tingkat lesi merupakan tanda awal kompresi medula spinalis.
2.   Lesi Intradural
a)      Intradural Ekstramedular
Lesi medula spinalis ekstramedular menyebabkan kompresi medula spinalis dan radiks saraf pada segmen yang terkena. Sindrom Brown-Sequard mungkin disebabkan oleh kompresi lateral medula spinalis.Sindrom akibat kerusakan separuh medula spenalis ini ditandai dengan tanda-tanda disfungsi traktus kortikospinalis dan kolumna posterior ipsilateral di bawah tingkat lesi. Pasien mengeluh nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh gerakan, batuk, bersin atau mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang menghebat pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi. Defisit sensorik mula-mula tidak jelas dan terjadi di bawah tingkat lesi (karena tumpah tindih dermaton). Defisit ini berangsur-angsur naik hingga di bawah tingkat segmen medula spinalis. Tumor pada sisi posterior dapat bermanifestasi sebagai parestesia dan selanjutnya defisit sensorik proprioseptif, yang menambahkan ataksia pada kelemahan. Tumor yang terletak anterior dapat menyebabkan defisit sensorik ringan tetapi dapat menyebabkan gangguan motorik yang hebat.
b)  Intradural Intramedular
Tumor-tumor intramedular tumbuh ke bagian tengah dari medula spinalis dan merusak serabut-serabut yang menyilang serta neuron-neuron substansia grisea. Kerusakan serabut-serabut yang menyilang ini mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral yang meluas ke seluruh segmen yang terkena, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan pada kulit perifer. Sensasi raba, gerak, posisi dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar. Defisit sensasi nyeri dan suhu dengan utuhnya modalitas sensasi yang lain dikenal sebagai defisit sensorik yang terdisosiasi. Perubahan fungsi refleks renggangan otot terjadi kerusakan pada sel-sel kornu anterior. Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi disebabkan oleh keterlibatan neuron-neuron motorik bagian bawah. Gejala dan tanda lainnya adalah nyeri tumpul sesuai dengan tinggi lesi, impotensi pada pria dan gangguan sfingter.


F.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.       Radiologi
Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mediagnosis semua tipe tumor medula spinalis adalah MRI. Alat ini dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur medula spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.
Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran foramen intervertebralis. Lesi intra medular yang memanjang dapat menyebabkan erosi atau tampak berlekuk-lekuk (scalloping) pada bagian posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendikular.
Mielografi selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. tumor intradural-ekstramedular memberikan gambaran filling defect yang berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram. Lesi intramedular menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.

Gambar 3, gambaran MRI tumor medula spinalis (intradural intramedular)

Gambar 4, gambaran MRI tumor intradural ekstramedular
b.      CSF
Pada pasien dengan tumor spinal, pemeriksaan CSS dapat bermanfaat untuk differensial diagnosis ataupun untuk memonitor respon terapi. Apabila terjadi obstruksi dari aliran CSS sebagai akibat dari ekspansi tumor, pasien dapat menderita hidrosefalus. Punksi lumbal harus dipertimbangkan secara hati- hati pada pasien tumor medula spinalis dengan sakit kepala (terjadi peninggian tekasan intrakranial).
Pemeriksaan CSS meliputi pemeriksaan sel-sel malignan (sitologi), protein dan glukosa.Konsentrasi protein yang tinggi serta kadar glukosa dan sitologi yang normal didapatkan pada tumor-tumor medula spinalis, walaupun apabila telah menyebar ke selaput otak, kadar glukosa didapatkan rendah dan sitologi yang menunjukkan malignansi. Adanya xanthocromic CSS dengan tidak terdapatnya eritrosit merupakan karakteristik dari tumor medula spinalis yang menyumbat ruang subarachnoid dan menyebabkan CSS yang statis pada daerah kaudal tekal sac.


G.    DIAGNOSIS
Diagnosis tumor medula spinalis diambil berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis serta penunjang. Tumor ekstradural mempunyai perjalanan klinis berupa fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali disertai Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan posisi sendi dibawah tingkat lesi yang berlangsung cepat. Pada pemeriksaan radiogram tulang belakang, sebagian besar penderita tumor akan memperlihatkan gejala osteoporosis atau kerusakan nyata pada pedikulus dan korpus vertebra. Myelogram dapat memastikan letak tumor.
Pada tumor ekstramedular, gejala yang mendominasi adalah kompresi serabut saraf spinalis, sehingga yang paling awal tampak adalah nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh gerakan, batuk, bersin atau mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang menghebat pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi. Defisit sensorik berangsur-angsur naik hingga di bawah tingkat segmen medulla spinalis. Pada tomor ekstramedular, kadar proteid CSS hampir selalu meningkat. Radiografi spinal dapat memperlihatkan pembesaran foramen dan penipisan pedikulus yang berdekatan. Seperti pada tumor ekstradural, myelogram, CT scan, dan MRI sangat penting untuk menentukan letak yang tepat.
Pada tumor intramedular, Kerusakan serabut-serabut yang menyilang pada substansia grisea mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral yang meluas ke seluruh segmen yang terkena, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan pada kulit perifer. Sensasi raba, gerak, posisi dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar. Defisit sensasi nyeri dan suhu dengan utuhnya modalitas senssi yang lain dikenal sebagai defisit sensorik yang terdisosiasi. Radiogram akan memperlihatkan pelebaran kanalis vertebralis dan erosi pedikulus. Pada myelogram, CT scan, dan MRI, tampak pembesaran medulla spinalis.


H.    DIAGNOSIS BANDING
Tumor medula spinalis harus dibedakan dari kelainan-kelainan lainnya pada medula spinalis. Beberapa diferensial diagnosis meliputi : transverse myelitis, multiple sklerosis, syringomielia, syphilis,amyotropik lateral sklerosis (ALS), anomali pada vertebra servikal dan dasar tengkorak, spondilosis, adhesive arachnoiditis, radiculitis cauda ekuina, arthritis hipertopik, rupture diskus intervertebralis, dan anomaly vascular.
Multiple sklerosis dapat dibedakan dari tumor medula spinalis dari sifatnya yang mempunyai masa remisi dan relaps. Gejala klinis yang disebabkan oleh lesi yang multiple serta adanya oligoklonal CSS merujuk pada multiple sklerosis. Transverse myelitis akut dapat menyebabkan pembesaran korda spinalis yang mungkin hampir sama dengan tumor intramedular.
Diferensial diagnosis antara syringomielia dan tumor intramedular sangat rumit, karena kista intramedular pada umumnya berhubungan dengan tumor tersebut. Kombinasi antara atrofi otot-otot lengan dan kelemahan spastic pada kaki pada ALS mungkin dapat membingungkan kita dengan tumor servikal. Tumor dapat disingkirkan apabila didapatkan fungsi sensorik yang normal, adanya fasikulasi, dan atrofi pada otot-otot kaki. Spondilosis servikal, dengan atau tanpa rupture diskus intervertebralis dapat menyebabkan gejala iritasi serabut saraf dan kompresi medulla spinalis. Osteoarthritis dapat didiagnosis melalui pemeriksaan radiologi.
Anomali pada daerah servikal atau pada dasar tengkorak, seperti platybasia atau klippel-feil syndrome dapat didiagnosis melalui pemeriksaan radiologi. Kadang kadang arakhnoiditis dapat memasuki sirkulasi dalam medulla spinalis yang dapat menunjukkan gejala seperti lesi langsung pada medulla spinalis. Pada arakhnoiditis, terdapat peningkatan protein CSS yang sangat berarti.
Tumor jinak pada medulla spinalis mempunyai ciri khas berupa pertumbuhan yang lambat namun progresif selama bertahun-tahun. Apabila sebuah neurofibroma tumbuh pada radiks dorsalis, akan terasa nyeri yang menjalar selama bertahun-tahun sebelum tumor ini menunjukkan gejala-gejala lainnya yang dikenali dan didiagnosis sebagai tumor. Sebaliknya, onset yang tiba-tiba dengan defisit neurologis yang berat, dengan atau tanpa nyeri, hampir selalu mengindikasikan suatu tumor ekstradural malignan, seperti karsinoma metastasis atau limfoma.


I. TERAPI
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular dapat direseksi secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat dan agresif secara histologist dan tidak secara total di hilangkan melalui operasi dapat diterapi dengan terapi radiasi post operasi.
Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :
1.      Pembedahan
Pembedahan sejak dulu merupakan terapi utama pada tumor medulla spinalis. Pengangkatan yang lengkap dan defisit minimal post operasi, dapat mencapai 90% pada ependymoma, 40% pada astrositoma dan 100% pada hemangioblastoma. Pembedahan juga merupakan penatalaksanaan terpilih untuk tumor ekstramedular. Pembedahan, dengan tujuan mengangkat tumor seluruhnya, aman dan merupakan pilihan yang efektif. Pada pengamatan kurang lebih 8.5 bulan, mayoritas pasien terbebas secara keseluruhan dari gejala dan dapat beraktifitas kembali.
2.      Terapi radiasi
Tujuan dari terapi radiasi pada penatalaksanaan tumor medulla spinalis adalah untuk memperbaiki kontrol lokal, serta dapat menyelamatkan dan memperbaiki fungsi neurologik. Tarapi radiasi juga digunakan pada reseksi tumor yang inkomplit yang dilakukan pada daerah yang terkena.
3.      Kemoterapi
Penatalaksanaan farmakologi pada tumor intramedular hanya mempunyai sedikit manfaat. Kortikosteroid intravena dengan dosis tinggi dapat meningkatkan fungsi neurologis untuk sementara tetapi pengobatan ini tidak dilakukan untuk jangkawaktu yang lama. Walaupun steroid dapat menurunkan edema vasogenik, obat-obatan ini tidak dapat menanggulangi gejala akibat kondisi tersebut. Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama dapat menyababkan ulkus gaster, hiperglikemia dan penekanan system imun dengan resiko cushing symdrome dikemudian hari. Regimen kemoterapi hanya meunjukkan angka keberhasilan yang kecil pada terapi tumor medulla spinalis. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sawar darah otak yang membatasi masuknya agen kemotaksis pada CSS.


J. PROGNOSIS
Tumor dengan gambaran histopatologi dan klinik yang agresif mempunyai prognosis yang buruk terhadap terapi. Pembedahan radikal mungkin dilakukan pada kasus-kasus ini. Pengangkatan total dapat menyembuhkan atau setidaknya pasien dapat terkontrol dalam waktu yang lama. Fungsi neurologis setelah pembedahan sangat bergantung pada status pre operatif pasien. Prognosis semakin buruk seiring meningkatnya umur (>60 tahun).


ASUHAN KEPERAWATAN TUMOR MEDULA SPINALIS

1. Pengkajian
a.          Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan
b.         Riwayat kesehatan ; apakah klien pernah terpajan zat zat kimia tertentu, riwayat tumor pada keluarga, penyakit yang mendahului seperti sklerosis TB dan penyakit neurofibromatosis, kapan gejala mulai timbul
c.          Aktivitas / istirahat, Gejala : kelemahan / keletihan, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat, adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas, keterbatasan dalam hobi dan dan latihan
d.         Sirkulasi, Gejala : nyeri punggung pada saat beraktivitas. Kebiasaan : perubahan pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
e.          Integritas Ego, Gejala : faktor stres, perubahan  tingkah laku atau kepribadian, Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
f.          Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan fungsi.
g.         Makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami perubahan sklera. Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
h.         Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi, kejang, sensitiv terhadap gerakan
i.           Nyeri / Kenyamanan,  Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang berbeda dan  biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
j.           Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea, potensial obstruksi.
k.         Hormonal :  Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
l.           Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan
m.       Keamanan , Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen, pemajanan sinar matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi
n.         Seksualitas,  Gejala: masalah pada seksual (dampak pada hubungan, perubahan tingkat kepuasan)
o.         Interaksi sosial : ketidakadekuatan sistem pendukung, riwayat perkawinan (kepuasan rumah tangga, dukungan),  fungsi peran.

2. Masalah keperawatan
a.          Kelumpuhan
b.         Gangguan sensibilitas
c.          Gangguan nafas/kelumpuhan diafragma untuk tumor servical tinggi
d.         Gangguan sistem cerna
e.          Kesukaran dalam buang air besar dan buang air kecil
f.          Perawatan khusus rehabilitasi bagi penderita instabilitas tulang punggung

3. Diagnosa keperawatan
a.       Nyeri (akut) / kronis b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf,ditandai dengan : menyatakan nyeri oleh karena perubahan posisi, nyeri, pucat sekitar wajah, perilaku berhati hati, gelisah condong keposisi sakit, penurunan terhadap toleransi aktivitas, penyempitan fokus pada diri sendiri, wajah menahan nyeri, perubahan pola tidur, menarik diri secara fisik

Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang, menunjuKkan perilaku untuk mengurangi kekambuhan atau nyeri

Intervensi :
1)      Kaji keluhan nyeri 
2)      Observasi keadaan nyeri nonverbal ( misal ; ekspresi wajah, gelisah, menangis, menarik diri, diaforesis, perubaan frekuensi jantung, pernapasan dan tekanan darah.
3)      Anjurkan untuk istirahat denn tenang
4)      Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai kebutuhan
5)      Lakukan pemijatan pada daerah kepala / leher / lengan jika pasien dapat toleransi terhadap sentuhan
6)      Sarankana pasien untuk menggnakan persyaratan positif “ saya sembuh “ atau “ saya suka hidup ini “
7)      Berikan analgetik / narkotik sesuai indikasi
8)      Berikan antiemetiksesuai indikasi

b. Defisit perawatan diri : higiene, makan toileting dan mobilitas yang    b. d gangguan neurofisiologis.

Kriteria hasil : kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi, kebutuhan nutrisi dan cairan terpenuhi, kebutuhan eliminasi terpenuhi, kebutuhan higiene oral, muka terpenuhi, latihan rentang gerak aktif dan psif dilakukan.

Intervensi :
1)      Kaji tingkat kemampuan yang berhubungan dalam melakukan kebutuhan perawatan diri
2)      Bantu saat pasien makan sesuai kebutuhan
3)      Lakukan perawatan kateter setiap hari
4)      Lakukan higiene oral setiap hari
5)      Lakukan latihan rentang gerak pasif untuk ekstremitas
6)      Bantu dan ajarkan latihan pembentukan otot sesuai indikasi : boneka untuk latihan memeras, bola karet.
7)      Lakukan perawatan kulit  : gosok punggung
8)      Berikan higiene secara total sesuai indikasi
9)      Berikan bantuan nutrisi sesuai pesanan : konsulkan dengan ahli gizi untuk menetapkan kebutuhan
10)  Jelaskan pentingnya perawatan diri.

c. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi dan atau integrasi ( trauma atau defisit neurologis ), ditandai dengan disorientasi, perubaan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, penghidu, konsentrasi buruk, perubahan proses pikir, respon emosiaonal berlebihan, perubahan pola perilaku

Kriteria hasil : pasien dapat dipertahanakan tingkat kesadaran dan fuingsi persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.

Intervensi :
1)      Kaji secar teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara,  afektif, sensoris dan proses pikir
2)      Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuan , panas / dingin, benda tajam atau tumpul, keadaran terhadap gerakan dan  letak  tubuh, perhatkian adanya masalah penglihatan
3)      Observasi repon perilaku
4)      Hilangkan suara bising / stimulus ang berlebihan
5)      Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil, pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
6)      Kolaborasi :
7)      pemberian obat supositoria gna mempermudah proses BAB
8)      konsultasi dengan ahli fisioterapi  / okupasi

d.   Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan ; paralise, atrofi otot dan kontraktur.

Kriteria hasil : mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit / kompensasi, mendemonstrasikan tehnik / perilaku yang memungkinkan melakuakn kembali aktivitas

Intervensi :
1)      Kaji rasa nyeri, kemerahan, bengkak, ketegangan otot jari.
2)      Berikan suatu alat agar pasien mampu untuk meminta pertolongan , seperti : bel atau lampu pemanggil
3)      Bantu / lakukan latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi, pakailah gerakan perlahan dan lembut. Lakukan hiperekstensi pada paha secara teratur
4)      Letakkan tangan dalam posisi kedalam ( melipat )
5)      Tinggikan ekstremitas bawah beberapa saat sewaktu duduk atau angkat kaki
6)      Buat rencana aktivitas untuk pasin sehingga pasien dapat beristirahat tanpa terganggu
7)      Berikan posisi alih baring setiap 2 jam 
8)      Monitor tanda-tanda vital
9)      Konsultasikan dengan ahli fisioterapi

e. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan neurovaskuler, kerusakan kognitif.

Kriteria hasil: pasien dapat dipertahanakan pola nafas efektif, bebas sianosis, dengan GDA dan tanda-tanda vital dalam batas normal, bunyi nafas jelas saat dilakukan auskultasi, tidak terdapat tanda distress pernafasan

Intervensi :
1)      Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
2)      Auskultasi bunyi pernafasan
3)      Angkat kepala tempat tidur sesuai atuiran / posisi miring sesuai indikasi
4)      Anjurkan utuk bernapas dalam, jika pasien sadar
5)      Kaji kemampuan dan kualitas batuk 
6)      Monitor tanda-tanda vital
7)      Waspada bahwa trakeostomie mungkundilakukan bila ada indikasi
8)      Lakukan penghisapan lendir dengan hati hati jangan lebih dari  10 – 15 detik, catat karakter warna, kekentalan dan kekeruhan sekret
9)      Pantau pengguanaan obat  obatan depresan seperti sedatif
10)  Berikan O2 sesuai indikasi
11)  Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi




SUMBER PUSTAKA

Brunner & Sudarth, 2003,  Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 , EGC, jakarta
Long C, Barbara. Perawatan Medikal Bedah. Volume 2. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran; 1996
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997. Diagnosa Keperawatan, ed 6. EGC.Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. jakarta
Padmosantjojo, R.M.2000. Keperawatan bedah saraf, bagian bedah saraf. FKUI. Jakarta
Smeltzer Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.Volume 3. Jakarta : EGC.
Sylvia A. Price,  Alih  bahasa Adji Dharma, 1995. Patofisiologi, konsep klinik proses- proses penyakit ed. 4. EGC. Jakarta


0 komentar: